Lihatlah
rona merah diujung langit sana. Aku tengah memandangnya sendirian di ujung
derita dan air mata. Maaf! Bukan derita maksud hatiku, hanya luka kecil. Ya
luka kecil. Luka kecil yang kunamakan rindu.
Aku
masih bisa bersyukur memandang langit merah hari itu. Dia masih mau menyapaku
lewat tulisan singkat. Berbeda dengan sosok sebelum ini yang bahkan tak mau
terlihatnya.
Aku
bersyukur masih bisa melihat senyuman bahagianya bersama teman-temannya. Masih
bersyukur melihat sosok tinggi tegapnya dari jauh. Masih bersyukur bisa
mengarahkan mata lensa kearahnya. Potretnya yang sedang terbahak bahkan saat
datarnya. Aku bahagia bisa melakukan hal-hal kecil itu.
Aku
terbang pada detik-detik masa lalu. Detik saat bahkan sudah dini hari dan aku
masih bergulat dengan air mata. Air mata sakit hati, air mata sesak, air mata
luka mengingatnya semakin angkuh dan berubah. Tapi Tuhan memang adil......
Air
mata sesak itu kini hanya sekedar masa lalu saat aku belum terbiasa.
Kini
aku sudah tangguh. Aku terbiasa dan aku menikmati semua ini. Cukup kau mau
membalas pesan singkat ku pun, sudah sangat amat cukup. Aku bersyukur dengan
semuanya.
Dan
langit merah senja ini masih ada dipelupuk mataku. Senyum dariku mengembang
sebelum aku menutup pintu. Dan sosokmu tiba-tiba samar di depan mataku. Sosok
yang kusayangi. Sosok inspirasi. Sosok kagumku. Kau temanku.
“Terima
kasih.” Kataku sambil menutup pintu, seiringnya sosok itu mulai berbaur dengan
langit merah jingga senja ini. “Terima kasih mau mengisi hari-hariku dengan
kebahagiaan kecil saat mata ini menemukanmu.
Terima kasih sudah berhenti menoreh luka. Kau tetaplah disitu, jangan
menjauh. Aku tengah merintis langkah demi langkah mundur. Biarkan waktu yang
tersisa ini yang menyembuhkan separuh luka kemarin, Teman. J” Sambungku dalam hati, saat
pintu itu sudah benar-benar rapat. Sangat rapat.
Biarkan waktu
yang tersisa ini yang menyembuhkan separuh luka kemarin, Teman.
Biarkan
waktu yang tersisa ini yang menyembuhkan separuh luka kemarin, Teman.
Teman.
Between 2014 and 2015