Kamis, 28 April 2016

Aku Tak Pernah Berarti

"Percuma.
Hendak berapa kali pun engkau balut hati yang telah mati, hasilmu kosong.

Percuma.
Hendak apapun yang kau lakukan untuk membangun lagi yang telah hancur, takan bernilai.

 Sudah kukatakan, percuma. Segalanya percuma.
 Kau mencoba untuk bahagia di tengah kesedihan? Topengmu akan hancur diterjang air mata di dalamnya.
Kau mencoba menjadi sekuat baja? Hatimu takkan mampu menopang kekuatannya.

 Mari jalani hidup bersama air mata lagi, takdirmu begitu.

 Kau bahagia seumur hidup, saat menjadi ratu sesaatnya seseorang? Dimana kepalamu?! Matikah logikamu?
 Buat apa kau menyayanginya? Buat apa kau memberikan segalanya untuknya?
Kau berharga sesaat, dan sampah selamanya untuknya.
 Jangan lakukan apapun, jangan. Dia tak pernah tertarik dengan dirimu.
Duniamu takkan pernah meraih dunianya, sadarlah.
Apapun yang kau lakukan memang terlihat, namun tak berarti. Tak pernah benar benar berarti dari dulu hingga kini.

 Sadarlah, dia menyerah melihat kekuranganmu, bukan mencoba memperbaikinya bersamamu. Sadarlah, kau ditinggalkan. Sadarlah dia punya capaiannya sendiri. Sadarlah dia tengah membangun dunia, sesuai keinginannya sendiri. Sadarlah dia punya selera sendiri.

 Kau dengar bukan? Mengapa kau begitu bebalnya.
 Kau tau hatimu sekarat. Kau tau batinmu sakit. Kau tau dirimu berteriak.
Lalu mengapa kau masih disini......
 Kasihani batinmu.
 Air matamu sudah cukup menghancurkanmu.
 Lupakan kebahagiaan sesaat itu. Dan sadarilah, sedihmu akan selamanya jika begitu.

 Kau tak pernah benar-benar berharga. Kau hanya sampah yang habis gunanya, tidak diinginkan, tak bisa diperjuangkan, kau dibuang.
 Simpan tangismu. Air mata takkan mengubahmu jadi berlian.
Kau sampah, dan tak lebih. Takkan pernah lebih di hadapannya
Takkan pernah ada lebihnya.
Tak pernah berharga."


Sepanjang itu aku diberondong oleh logika. Namun kemudian hatiku yang berbicara.

"Maaf, aku menerima apapun perlakuannya, apapun kekurangannya, aku menerima dia. Aku memilih dia. Dan, aku menyayanginya." 


Tuhan tolong, perasaan ini begitu menyakitkan......




Kamis, 07 April 2016

Dunia.

Aku memandang ke arah jendela. Aku melihat ada dua sosok disana. Sepasang lawan jenis. Mereka menghabiskan waktu mereka di sana, tertawa.
Aku memandang ke arah lain. Ku lihat, lelaki itu mengenggam tangannya.
Dan di arah lainnya, ku lihat kenyataan.

Entah sampai kapan lagi perempuan itu akan terdiam menunduk. Menyadari, orang yang bersamanya tak menyayanginya, tak pernah lebih. Orang yang dalam tahun ia tunggu sekian lama, lalu merangkulnya, memberikannya kepercayaan yang tentu saja diterimanya, lalu sekarang berhembus lagi, meninggalkannya dalam tanda tanya juga kesedihan.

Aku lah dia.
Aku bodoh karna merasa berharga.
Aku bodoh memberikan kepercayaanku sepenuhnya.
Aku bodoh menyayangimu.
Aku bodoh memberikan ketulusanku tanpa sisa.

Jangan tanya seberapa hancurnya aku, kau tau jawabannya.
Aku tulus padamu. Aku tak ingin menuntut apa-apa darimu. Aku hanya butuh kau disini dan memelukku. Namun kau tak bisa. Dan kau memilih menyerah...

Aku pernah sakit. Dan terulang lagi, hari ini.

Kita yang bersama berdua takkan ada lagi.

Aku menangis memandang hal yang biasa kita lakukan.

Siapapun,  tolong aku... Bahkan melihatnya saja sesakit ini. Aku baru menyadari lukaku sehebat ini.

Siapapun, tolong aku... Hapus air mata ini. Hapus luka ini. Peluk aku lagi. Aku tak sekuat itu, aku harus memalingkan wajah dari duniaku, tolong aku.

Saat menyakitkan, itu.

Ya, saat aku tak sanggup memandang duniaku.

Saat aku memalingkan wajah dari duniaku.

Saat aku harus tersenyum saat hatiku hancur.

Dunia yang tak pernah adil untukku.

Jumat, 01 April 2016

Semua Yang Berjalan

Aku menunduk saat aku menggenggam tanganmu. Sesempit ini kah yang namanya menggenggam? Dan aku berfikir, kata kerja ini bahkan bermakna sedemikian dalam.
Pernah kau dengar istilah "menggenggam tanpa meraih?," atau mungkin baru aku yang memunculkan istilah ini?

Kau fikir ini lucu?
Ini tidak lucu sama sekali.
Kau meraih tangannya namun belum tentu hatinya. Kau meraih jemarinya, tapi apakah kau berfikir tentang perasaannya?

Aku hafal seberapa ukuran tanganmu, namun sayangnya aku tak tau seberapa luas hatimu. Aku tau aku selalu bisa menutup erat tanganmu, melingkarkan jemariku disana, namun sayangnya bahkan aku tak tau seberapa bagian hati yang mampu kutempati.
Bisa saja sepenuhnya, atau setengahnya, namun buruknya bisa saja hanya bagian terkecilnya.

Aku mulai tak pernah puas dengan diriku sendiri.
Perasaan-perasaan alamiah yang memang muncul dari dalam, selalu kucoba singkirkan. Walau terkadang gagal, tapi aku mencobanya. Mencoba jadi yang kau inginkan, walau kadang dengan cara yang jauh dari kata benar. Cara yang salah.

Detik ini aku tertawa lepas, namun sedetik kemudian pipiku turun. Turun bersamaan dengan beranjaknya ganjalan dari kepala yang merasuk ke hati.
Mungkin salahku yang terlalu merasakan perbedaan.
Tapj aku memang merasa tak indah lagi.
Aku merasakan tempat yang berbeda.

Pertanyaanku adalah, "jadi kau yang sesungguhnya yang mana?"
Yang dulu, lalu berubah... Atau yang sekarang pernah mencoba hal terdahulu?

Aku merasa asing di tempat ini.
Aku sendirian disini.
Semoga pelukmu saja yang tengah absen, dan dirimu takkan.

2016

Sampai Disini Saja.

Kisahku mungkin tak seindah gugusan bintang disana.. Namun pola abstraknya bahkan mengalahkan butiran sinar matahari di ambang laut.
Kisahku mungkin tak pernah berawal, namun pasti akan berakhir. Kisah yang membingungkan. Kisah ketidakpastian. Kisah tangis malam. Kisah kita.
Maaf, maksudku kisahku yang tak pernah beranjak dari telapak kakimu.
Kisah yang kuharap berakhir, segera.

Semua ini dimulai saat jiwaku berada di tengah biru awan. Keping harapan yang mulai mengulurkan tangan, meraih indahnya mentari di ujung langit sana.
Lalu bersama senja, menangisi mentari yang meredup di telan malam.
Saat sendiri dan dingin, ia pergi ke tempat lain bersama perasaannya yang sunyi. Bersinar dengan cerita baru. Dengan biru yang tak pernah berlalu. Si awan cantik yang terpaku di tengah gersang bumi.
Aku yang meminta ia mendekat, namun akulah yang berlari. Aku yang bersumpah, aku pula yang sekarat. Aku yang mencinta, aku pula yang berteriak.
Mauku apa? Mau hati ini apa? Mau takdir ini bagaimana?

Aku tak pernah menyayangimu! Ingat itu!
Hatikulah yang memelukmu. Hatiku yang menyayangimu saat aku bahkan tak sudi melirikmu.
Jiwaku melihatmu sebagai suatu kekaguman yang tak pernah pudar, namun hatiku melihatmu sebagai sosok luar biasa diantara ribuan kesakitan.

Aku bisa mengalahkan hati. Aku pernah mengalahkannya! Namun semua hanya menjadi beberapa minggu yang luar biasa. Jiwaku kalah lagi. Saat menyadari bukan aku yang kau inginkan, hatiku sakit lagi. Hati ini sakit, bahkan saat jiwaku bahagia; kau menemukan sosok yang bisa kau capai.

Gila macam apa ini?

Ya, aku memang perempuan gila.
Berdiri di atas hati berdarah bersama hujan selamanya.
Logika yang masih bisa berjalan, bahkan iba dengan hatiku yang mengemis ingin merangkulnya. Lelah bersama hati bebal, yang terlalu bodoh merindunya.

Hujan waktu lalu.
Hati ini tersambar ujung kilat, dan pecah bertebaran ke sudut-sudut mata.
Perih menahan pecahan hati yang terciprat, lalu menangis sekarat.
Jiwaku puas tertawa.
Hati yang bodoh memang pantas mendapatkannya.

Aku melarikan diri bersama sunyi, di saat kau menungguku dengan tanganmu yang terbuka. Tangan tulus yang hanya menginginkan perdamaian denganku. Aku tau itu. Aku tau.
Namun maaf.. Hati ini ingin berhenti, saat jiwaku menyambut perdamaian itu. Dia ingin berhenti, sehingga ia berlari. Meninggalkan kebingungan dan kemuakkan yang memenuhi fikiran tenangmu itu. Meninggalkan tanda tanya besar yang bahkan tau keliru..

Ketika suatu kemasuk-akalan suatu cerita dianggap kebohongan oleh hatiku? semua ini mungkin terjadi.
Aku bahkan tak mau memecah keheningan ini, karna aku tau jiwaku yang damai denganmu akan membuat hatiku sakit lagi.
Aku diam karna aku tak mau kisah ini memanjang lagi. Aku ingin berhenti.
Aku tau bukan aku yang kau ingikan, jadi berhentilah bicara. Semua perkataanmu akan dianggap kebohongan oleh hatiku. Dan aku tak mau itu.

Kini aku takkan pernah lagi menyalahkanmu saat jarak ini kembali memisahkan kita.
Aku tau kita takkan pernah baik-baik saja.
Jadi, berlarilah...
Berlarilah dengan arah yang berlawanan denganku.
Aku harap kita takkan bertemu lagi sebelum hati ini menemukan penggantinya.
Aku takkan pernah menahanmu lagi saat engkau hendak menghindar.
Aku takkan pernah menyapamu lagi saat kita bertemu pandang.
Jika dulu aku yang sekarat, kini akulah yang menginginkan jarak.
Inilah jalan Tuhan..

Akulah kelam dalam kabut di belakangmu. Songsonglah awan terang di depanmu.
Sambut dia, dan aku tau kisahku berakhir disini.

Sampai disini.

Desember, 2015