Mengingat kesalahan orang yang kita sayangi memang tak
pernah ada yang menyenangkan. Hati malah terasa sakit sendiri, bahkan air mata
terkadang keluar tanpa minta permisi.
Namun bila ‘mengingat’
atau ‘diingat’ adalah masalah
utamanya, mungkin segala sesuatunya takkan seberat ini. Karna yang terjadi
adalah kita yang teringat. Teringat.
Teringat dalam detik-detik kesendirian . Teringat
kesalahannya dalam hiruk-pikuk kekosongan rongga. Teringat akan segala sesuatu
yang benar-benar menyesakkan.
“Ketika perasaan kita
masih setulus birunya awan diujung langit sana, ketika doa kita masih dalam
tujuan yang sama, dan saat pelukan kita masih terbuka untuk sosok yang
sama....................
Lalu semuanya dimulai,
engkau hancurkan, dilumat habis oleh sesuatu yang ku tak tau apa namanya. Entah
itu seonggok benci, atau mungkin dendam cinta yang sedari awal memang tak
pernah tulus untukku.
Sakit, dan itu ku
akui. Ketika hinaan turun dan ada yang ikut serta, bahkan saat diri kita selalu
membelanya. Ketika diri dihabisi dan ia turun pula, bahkan saat diri kita
selalu menyanjungnya.
Aku memakimu? Aku tak
pernah tega menyakitimu dengan cara yang kusadari.
Aku menjatuhkanmu? Aku
tak pernah mau melihatmu jatuh, terlebih karena aku.
Terlalu banyak
kesalah-pahaman yang sudah turut campur dalam sakit hati tak berujung ini.
Terlalu sulit mengembalikan pulih hati yang tak beralasan ini.
Aku manusia biasa.
Bahkan setelah sakit hati abstrak ini, aku memang berfikir kau tak pernah tulus
padaku. Salahkah aku, dengan pemikiran seperti ini?
Aku merasa tulusku tak
berbalas. Aku merasa sayangku tak berbalas. Aku merasa semuanya tak beralas.
Dengan semua yang
terjadi ini, pantaskah engkau yang masih selalu kusebut dalam doa? “
Dan pemikiran beberapa bulan yang lalu ini kembali memenuhi
benakku. Diingat tanpa kehendak, atau yang lazim disebut; teringat.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut terjawab dengan jawaban yang
senantiasa sama. Jawaban yang diucap oleh hati dan dimentahkan oleh akal.
Semua yang tak lagi sama menjadi bukti bahwa akal menang.
Namun doa yang tak kunjung padam menjadi bukti bahwa hati
bukan pecundang.
Hati adalah bagian tertulus dalam diriku, dan aku tak mau
memungkirinya.
Biarlah engkau menjadi elang yang bahkan mencabik habis
dagingku. Makan aku. Dan aku akan tinggal selamanya dalam hatimu.
Aku memang bukan lagi perempuan yang ingin kau ingat. Aku
bukan lagi perempuan yang membuatmu tertawa. Aku bukan bagian yang ini kau
lihat. Aku bukan dia yang selalu ada.
Aku hanya sesosok perempuan yang tinggal jauh dalam titik
beku. Yang selalu mendoakanmu dalam kelam. Yang meletakkan sesuatu dengan diam.
Yang menyanjungmu dari kejauhan.
Biarlah Tuhan yang merubah fikiranku tentangmu.
Jika engkau memang untukku, segala sesuatu memang akan
dipulihkan kembali.
Namun bila tidak, sakit ini memang hanya untuk diriku
sendiri.
LDS~
Oktober.